Medan - Jika kita berwisata kemanapun, tidak sedikit kita melihat monumen atau goresan-goresan tangan yang berkelas yang menyimbolkan identitas suatu suku. Contohnya di Kota Medan, kita melihat banyak gedung bersejarah yang menjadi tempat wisata bagi yang berkunjung ke Kota Medan. Misalnya seperti Masjid Raya Al Mahaun, Istana Maimun dengan warna khas kuning hijau, Graha Santa Maria Velankanni, Lapangan Merdeka (Merdeka Walk), Tjong A Fie Manaion, dan banyak lainnya.
Di Berastagi kita melihat rumah-rumah tradisional suku Karo penuh nilai-nilai kehidupan terbuat dari kayu tapi kokoh sampai ratusan tahun. Begitu juga di Samosir ada ukiran ukiran khas orang Batak Toba yaitu Gorga. Jika kita menghitung jumlah bangunan bersejarah yang menjadi tempat wisata di Sumatera Utara (Sumut) ini, hasilnya sungguh sangat banyak. Setiap Kabupaten/Kota pastinya memiliki gedung bersejarah.
Baca juga:
Tony Rosyid: Puan Makin Terancam?
|
Itu masih soal bangunan bersejarah, belum dengan masakannya (kuliner). Jika melintasi wilayah Tapanuli Selatan (Tapsel), kita dapat menyicipi, ikan sale, holat, ulame dan berbagai macam makanan khas lainnya.
Tetapi ada hal yang perlu kita pahami persoalan lokal wisdom, ini bukan sekedar bentuk fisiknya saja, tetapi implementasi nilai-nilai yang dilambangkan. Sehingga jati diri suku tersebut tidak tercecer hingga ke negeri seberang. Kearifan lokal mencakup berbagai bentuk pengetahuan dan praktik yang dimiliki dan diperoleh manusia sebagai anggota suatu kelompok masyarakat atau komuniti, melalui proses belajar, dan diwariskan secara turun-temurun. Berbagai pengetahuan dan praktik ini digunakan sebagai pedoman berperilaku dan bertindak dalam kerangka interaksi sosial antar warga atau kelompok masyarakat, termasuk dalam memodifikasi lingkungan alamnya. Tentu saja, semua pengetahuan dan praktik ini mencakup nilai-nilai luhur dan praktik arif yang menjamin terbangun dan tertatanya kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum, yang lebih optimal.
Kearifan lokal, dengan demikian, menyangkut hal luas dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Baik dalam, bentuk sistem budaya (nilai budaya), sistem sosial (tata kelakuan), maupun melalui benda-benda hasil karya (artefak) suatu kelompok masyarakat di dalam kompleksitas kebudayaannya. Kearifan lokal (lokal wisdom) sering juga disebut dengan istilah ‘pengetahuan asli’ (indigenous knowledge), ‘pengetahuan lokal’ (local knowledge).
Tidak salah jika kita meniru sikap negara yang selalu mempertahankan identitas budayanya. Misalnya seperti negara Jepang yang terus menjiwai kebudayaannya dengan berbagai media seperti komik, music, tari, hukum, prinsip hidup dan sebagainya. Hal tersebut bermula dari pandangan bahwa era globalisasi bukanlah sebuah ancaman (threats) namun lebih sebagai sebuah peluang (opportunities), era Postmodern adalah era yang menuntut masyarakat untuk berpikir kreatif dan kolaboratif. Kita lihat di kota-kota Jepang seperti Kyoto, Osaka, Sakai dan lainnya, kota-kota ini tetap mempertahankan kebudayaannya.
Kita masyarakat Sumut tanpa mengecualikan masyarakat lainnya, harus berani tampil untuk mengkreasikan kebudayaan kita, baik budaya tradisional maupun sudah diperbarui dengan bentuk yang berbeda. Mencintai kebudayaan berarti kita mengupayakan menjaga keutuhan negara. Sebagai identitas jati diri bangsa.
Menengok ke kaum muda, kondisi pemuda kita hari ini jika kita melihat aktivitas sosialnya sudah dihanyutkan dengan perkembangan teknologi. Pemuda terus dicekoki dengan permainan game-game yang dapat menghabiskan waktu dengan sia-sia. Pemuda kita tidak lagi disibukkan dan menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang menumbuh-kembangkan ide kreatif dan inovatif dari kearifan lokal. Sebenarnya, kegiatan ini selain menjaga identitas juga berguna sebagai ladang rejeki dan minat wisata.
Kita Contohkan misalnya di wilayah Bali festival Ogoh-Ogoh, Gandrung Sewu di Banyuwangi dan lainnya yang kegiatan mereka banyak melibatkan kaum muda (milenial) sebagai subjek utama yang akan meneruskan dan melestarikan kebudayaan. Sedangkan misalnya di Sumut, ada Festival Danau Toba adalah penyuluh api di Sumut yang terus berkelanjutan.
Di sini peran penting pemerintah untuk melestarikan, menjaga dan menyemangati gairah masyarakat dengan menyokong fasilitas dan dana tentunya. Provinsi Sumut mempunyai potensi budaya dan wisata yang sangat besar. Tidak hanya menunggu kesadaran dari pemerintah Daerah Tingkat I dan II, sebagai bagian dari masyarakat Sumut, kita juga harus sadar akan pengetahuan asli dari nenek moyang kita. Serta menjaga dan juga melestarikannya.
Baca juga:
R. Kholis Majdi: HTI Tidak Berpolitik!
|
Budaya dan wisata di Sumut harus dihidupkan apinya seperti obor walau kecil jika hidup di seluruh Sumut ia akan menerangi Indonesia. Secara sisi ekonomisnya, pendapatan masyarakat akan meningkat, ide, kreativitas bermunculan sehingga Sumut menjadi provinsi yang dikenal sebagai provinsi yang berbudaya dan beradab, serta jaya dan bermartabat.
Penulis: Abdul Rahman (Wakil Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 2018-2020).